Minggu, 31 Mei 2009

Meninggal di Rumah Sakit atau di Rumah tidak ada bedanya....., mereka tetap meninggal di wilayah kami.

Catatan dari Pertemuan Koordinasi Sistem Rujukan Kesehatan Ibu di Lagoi.



"Penanganan komplikasi tidak dapat hanya dilakukan oleh Sarana Pelayanan Kesehatan Dasar (Puskesmas kebawah) tetapi harus ditangani secara komprehensif sampai di Rumah Sakit baik di Kabupaten maupun Provinsi", itulah salah satu poin penting yang diucapkan Ibu Direktur Bina Kesehatan Ibu, dr Sri Hermiyanti MSc dalam acara pembukaan Pertemuan Koordinasi Sistem Rujukan Kesehatan Ibu yang dilaksanakan di Nirwana Hotel Resort, sebuah hotel yang megah di kawasan Bintan Resort – Lagoi – Pulau Bintan pada 27 – 29 Mei 2009. Pertemuan yang dihadiri oleh seluruh programer Kesehatan Ibu dan Pelayanan Rujukan dari 33 provinsi ini bertujuan untuk : mengidentifikasi masalah yankes rujukan di tiap-tiap level pelayanan; diperolehnya lesson learnt dari pelaksanaan pelayanan rujukan dari beberapa daerah serta membuat kesepakatan antara program KIA dan Yankes di masing-masing provinsi menyikapi masalah yang terjadi di daerah masing-masing sehingga cakupan dan kualitas Penanganan Komplikasi dapat meningkat melalui kerjasama yang baik dari kedua program di semua tingkat mulai pusat, provinsi dan kabupaten/kota.



Setelah pembukaan oleh ibu Mimin, dr. Lukman Hendro Leksmono, MBA menyampaikan presentasi tentang Kondisi Pelayanan Rujukan Kesehatan Ibu di Indonesia. Dalam presentasi ini beliau menyingung tentang determinan kematian ibu baik langsung maupun tidak langsung; komponen sistem rujukan yang masih belum terintegrasi baik dari sisi akses, kualitas, clinical governance dan pencatatan pelaporannya; definisi cakupan penanganan komplikasi; capaian PK secara nasional maupun masing-masing provinsi; upaya untuk peningkatan penanganan komplikasi serta mengingatkan kembali tentang Countdown cakupan PK pada tahun 2012. Sempat terjadi tanya jawab yang cukup hangat dari peserta pertemuan terutama tentang peran RS dalam penanganan rujukan di suatu daerah dan bagaimana koordinasi yang terjadi selama ini di lapangan antara pihak manajemen RS dan Dinkes.

Esok paginya, setelah melakukan olah raga bersama di tepi pantai yang indah dan bersih di kawasan resort dan makan pagi yang cukup berlimpah, acara dilanjutkan dengan presentasi tentang kondisi Penanganan Rujukan Kesehatan ibu di tingkat Pelayanan Kesehatan Rujukan yang disampaikan oleh dua orang presenter yaitu : dr Asri Adisasmita, PhD yang menyajikan Hasil Pengalaman Studi Immpact dan CEMD serta dr Junizarman,SpOG yang menyajikan Pengalaman Pelayanan Rujukan Kesehatan Ibu di RS Swasta di Jakarta. Kedua penyajian ini dibahas oleh Ketua IBI, Ketua POGI, Wakil dari IDAI serta Yanmed Spesialistik.

Dalam panel pertama ini isue yang muncul adalah rujukan yang selama ini terjadi di RS lebih banyak merupakan rujukan skill dan specimen sedangkan rujukan knowledge sangat jarang, artinya selama ini RS lebih banyak difungsikan untuk "mengeksekusi" kasus rujukan yang terjadi di wilayahnya, sedangakan fungsi pembinaan bagi pengembangan fungsi pelayanan rujukan secara menyeluruh dari yankes dasar dan sistem rujukan di suatu daerah kurang diperhatikan. Isue lain yang muncul adalah meskipun kejadian kematian ibu sudah bergeser dari rumah ke RS, belum tentu semuanya adalah kesalahan RS, mungkin saja tata laksana rujukan dari puskesmas atau bidan desa belum sesuai standar baik dilihat dari manajemen kasus atapun logistiknya.



Rekomendasi dari sesi yang dipimpin oleh dr. Lukas C Hermawan, M Kes ini adalah : perlunya pedoman rujukan yang jelas dan dapat dilaksanakan di daerah tersebut; adanya paket rujukan yang komprehensif; mampu mengorganisir P4K di tingkat masyarakat melalui mekanisme desa Siaga; perbaikan sistem konsultasi di RS; perbaikan sistem RR dan pelaksanaan Good Clinical Governance yang terdiri dari : audit klinik untuk menilai kinerja klinik dari pemberi pelayanan kesehatan, data klinik bermutu baik, manajemen risiko klinik, penerapan upaya medik berdasarkan bukti ilmiah, upaya mengatasi kinerja buruk, serta mekanisme pemantauan hasil pelayanan kesehatan.



Setelah makan siang, presentasi dilanjutkan dengan presentasi panel II yang dimoderatori oleh dr. Imran Pambudi membicarakan tentang Pelayanan Kesehatan Rujukan di Pelayanan Kesehatan Dasar di Kabupaten Banjernegara dan Provinsi Bangka Belitung. Pada kesempatan pertama Kabid Yankes Dinkes Kabupaten Banjernegara dr. Justina menyampaikan kondis penangann rujukan di kabupatennya serta apa saj upaya yang telah dilakukan untuk perbaikan sistem rujukan yang cukup membuahkan hasil yaitu dengan menurunnya jumlah kematian ibu akibat perdarahan secara drastis dengan beberapa langkah perbaikan yaitu : memantapkan Desa Siaga, membakuan sistem rujukan dengan memperjelas peran masing masing, memperbaiki mekanisme ijin praktik, memperkuat tim AMP kabupaten serta mekanisme monitoring paska AMP serta memperbaiki pendidikan bidan.Sedangkan Kadinkes Bangka Belitung, dr. Hendra menyampaikan tentang kondisi pelayanan rujukan di daerahnya dengan beberpa hal yang cukup menonjol yaitu telah disusunnya Road Map to Healthy Babel yang didalamnya termasuk rencana membentuk 5 RS baru di kabupaten di dalam provinsi Babel.



Kesimpulan dari sesi yang dibahas oleh wakil dari Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Direktorat Bina Kesehatan Anak, Direktorat Binak Yanmedik Dasar dan Direktorat Bina Kesehatan Komunitas adalah : perlunya mapping permasalahan pelayanan kesehatan rujukan di suatu daerah melalui proses assesment yang berdasar data - data akurat tentang indikator input, proses dan output; perlunya meningkatkan partisipasi lintas sektor terutama kepala desa dan camat dalam mengoptimalkan desa Siaga dan Kemitraan Bidan dan Dukun melalui Surat Keputusan yang mereka buat sebagai dasar pelaksanaan di lapangan; mengoptimalkan peran tim AMP kabupaten serta menindaklanjuti hasil AMP melalui perbaikan perbaikan yang direkomendasikannya serta meningkatkan peran RS bukan hanya sebagai "eksekutor" tetapi juga sebagai pembina sistem rujukan di suatu daerah.

Pertemuan ditutup dengan makan malam romantis yang tidak terlupakan di restoran Kelong, yang berada di tengah laut dan bertepatan dengan perayaan ulang tahun Ibu Mimin ke 59, dalam kesempatan ini dibacakan beberapa butir kesepakatan yaitu :














1. Perbaiki Pencatatan dan pelaporan penanganan komplikasi di fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta melalui kegiatan :

  • Sosialisasi tentang Definisi Operasional
  • Pelatihan pelaksanaan pencatatan dan pelaporan KIA .
  • Penyediaan sarana untuk pencatatan dan pelaporan KIA secara berjenjang antara provinsi dan kabupaten.
  • Pembinaan secara berkesinambungan (antar tingkat dan waktu)
  • Koordinasi pelaporan dari RS yang ada dalam SIRS yang perlu diperkuat dengan kebijakan dari Pusat (Yanmed)
  • Pembuatan Profil termasuk maping

    2. Identifikasi masalah spesifik daerah yang menghambat pelaksanaan penanganan komplikasi

3.Lakukan analisa indikator dari hasil kegiatan yang hasilnya segera dapat ditindak lanjuti.

4.Melakukan perencanaan terpadu di tingkat pusat dan daerah (DTPS) dengan lintas program dan lintas sektor terkait untuk tahun 2010-2011.

5.Mengoptimalkan sistem rujukan melalui penguatan mekanisme dan jejaring rujukan dari tingkat keluarga sampai ke RS.

6. Mengoptimalkan fungsi Tim AMP sebagai wahana untuk komunikasi sistem rujukan.

7. Mengoptimalkan jaringan informasi antar provinsi melalui Facebook dengan mengakses account: Maternal Depkes Ri serta di kesehatanmaternal.blogspot.com.

Harapan kita semua setelah pertemuan yang cukup menyenangakan di salah satu resort terbaik di dunia ini, kita semua mampu menindaklanjuti hasil pertemuan ini dengan melakukan upaya-upaya yang sudah direkomendasikan dan menjadi lesson learnt keberhasilan di daerah lain dan yang paling utama bisa menjadi bekal kita melalui perbaikan sistem pencatatan dan pelaporan penaganan komplikasi di masing masing daerah. (dr. Imran Pambudi)








Senin, 11 Mei 2009





Keterbatasan dalam Kelimpahan dan Keindahan Alam
Catatan dari Lokakarya DTPS KIBBLA di Kaki Kelimutu

Mentari masih terbenam tatkala kami berkumpul untuk memulai perjalanan ke Taman Nasional Kelimutu dengan Danau Tiga Warna Kelimutu-nya yang tersohor di seluruh dunia karena keunikannya. Dari hotel tempat kami menginap hanya memerlukan waktu sekitar 30 menit perjalanan menggunakan kendaraan bermotor untuk sampai ke tempat parkir kendaraan terakhir dimana perjalanan selanjutnya harus dilakukan dengan berjalan kaki untuk sampai ke bibir danau. Dinginnya hawa pegunungan dan beragamnya kondisi tubuh karena usia dan kelelahan akibat kurang tidur tidak menyurutkan niat kami untuk pergi kesana. Sesampai di tempat parkir kami melakukan peregangan otot untuk mengurangi resiko cedera otot mengingat perjalanan yang cukup jauh dan mendaki serta para peserta yang umur dan kondisinya ada yang sudah lanjut.

Itulah sekelumit cerita perjalanan dalam rangka proses Lokakarya DTPS KIBBLA untuk kabupaten Ngada dan Ende yang dilakukan di Moni akhir Februari 2009. Lokakarya ini merupakan kelanjutan dari Orientasi KIBBLA yang dilakukan sekitar sebulan sebelumnya yang merupakan rangkaian kegiatan proyek Australia-Indonesia Partnership on Maternal and Neonatal Health (AIPMNH) di beberapa kabupaten dalam provinsi NTT. Didalam proses DTPS KIBLLA kali ini banyak sekali hal-hal menarik yang belum pernah saya temui di dalam proses DTPS di daerah lain selama ini dengan terampil dan semangat yang tinggi masing-masing tim bermain musik dan drama yang mencerminkan hasil diskusi tiap sesi. Kemampuan olah vokal dan adaptasi terhadap lagu-lagu rakyat serta lagu yang populer sangat hebat, sehingga tidak heran kalau tidak ada sesi malam keakraban pada lokakarya ini seperti ditempat lain, karena setiap hari selalu ada peserta yang menyumbangkan suara emasnya siang, sore terutama malam hari kala sesi malam dimulai....

Selama proses Lokakarya yang diikuti oleh masing-masing 14 orang dari tiap kabupaten dan dibantu oleh 1 orang Fasilitator Utama, 1 orang Fasilitator Nasional, 4 orang Fasilitator Provinsi dan 2 orang dari Penala Hati Nusantara kami membahas penyebab kematian ibu , bayi baru lahir dan balita dari data hasil cakupan tahun 2006, 2007 dan 2008 yang mereka bawa sebagai bahan penyusunan rencana kegiatan tahun 2010 dalam rangka penurunana jumlah kematian ibu, bayi baru lahir dan balita. Pada umumnya data pada tahun 2006 dan 2007 untuk 2 kabupaten susah untuk dianalisa, tren antar data tidak cocok dan alasan mengapa terjadi sulit ditemukan.

Meskipun pada pembukaan sudah ditekankan bahwa dalam Lokakarya DTPS KIBBLA ini membahas “Health Issue” tetapi peserta sering terjebak hanya membahas “Health Program” saja, sehingga para fasilitator sering mengingatkan masing masing kelompok untuk tidak terjebak dalam hal ini agar peserta yang berasal dari luar Dinas Kesehatan bisa berkontribusi melalui kegiatan di bidang mereka. Kondisi seperti ini tampak pada diskusi sesi penentuan Solusi dan Prioritas Kegiatan, meskipun pada sesi Penentuan Penyebab Masalah sudah diidentifikasi faktor-faktor yang ada bukan hanya non medis tetapi usulan kegiatannya sebagian besar masih medis juga. Tetapi terlepas dari hasil lokakarya yang “berat sebelah”, proses ini mampu membangun relasi dan kemampuan analisa mereka atas suatu masalah kesehatan ibu, bayi baru lahir dan balita menjadi suatu masalah multi sektoral. Kematian ditinjau bukan saja dari sisi medis itu sudah merupakan kemajuan yang luar biasa, program disusun atas dasar masalah bukan atas “historical budget” juga harus dianggap kemajuan yang berarti untuk dicapai dalam waktu 5 hari.


Disela-sela kegiatan Lokakarya, saya dan dr. Yuli, Kasubdin Kesmas Dinkes Prov. NTT yang juga seorang Fasilitator Nasional menyempatkan mengunjungi Puskesmas Kelimutu yang kebetulan juga adalah Puskesmas PONED, letaknya hanya sekitar 15 menit perjalanan dari hotel tempat kami menginap. Kesan pertama kali yang muncul di perjalanan adalah tempatnya tidak ada di tepi jalan besar seperti pada umumnya sarana kesehatan yang memudahkan akses bagi pengguna jasa kesehatan. Letak puskesmas ini sekitar 1,5 KM masuk dari jalan utama dan tidak ada papan nama lokasi Puskesmas, 500 meter terakhir perjalanan kami menemui jalan yang sangat jelek, bebatuan besar tampak menghiasi jalan satu-satunya ke Puskesmas Kelimutu, saya bisa bayangkan betapa bahayanya hal ini apabila musim penghujan dan bagi kendaraan yang membawa ibu hamil, bisa-bisa lahir di jalan atau kendaraannya bisa terpeleset...

Memasuki kompleks Puskesmas yang cukup besar dan bersih, kami disambut oleh dr. Diah yang baru bertugas 6 bulan di Puskesmas yang berstatus sangat terpencil ini. Beliau mendampingi Pak Yan, seorang perawat senior yang bertugas sebagai kepala puskemas untuk melakukan “tour” di puskesmas ini dimulai dari ruang administrasi. Ada suatu hal yang ironis kami temukan ketika membaca papan informasi kepegawaian, dari 22 pegawai yang bertugas di puskesmas ini, 6 diantarnya tenaga sukarela yang bekerja tanpa dibayar, mereka berharap bisa diangkat menjadi pegawai kelak, sementara ini mereka bekerja agar ilmu mereka tidak hilang, itu saja. Pemandangan yang menarik terlihat pada saat memasuki ruang bersalin, kondisinya walau bersih tetapi terasa lembab karena tempat cuci menjadi satu di ruang ini, kondisi pencahayaan serta ventilasi juga kurang memadai sehingga saya menyarankan agar memodifikasi atau memindahkan ruang ini, syukurlah sudah ada rencana pembangunan ruang bersalin di tanah kosong sebelah puskesmas meskipun belum tahu kapan akan dimulai.

Penempatan peralatan emergensi juga masih belum berada di suatu tempat yang mudah dijangkau, alat vakum misalnya. Alat ini disimpan di dalam lemari pada ruang lain, perlu sekitar 10 menit untuk mencari dan memasang alat ini. Kami menyarankan agar semua peralatan dan obat emergensi diletakkan pada suatu tempat yang mudah dijangkau oleh petugas kesehatan agar memudahkan memonitor dan menggunakannya. Sarana sudah cukup lengkap, meja gynec, lampu sorot, inkubator, alat resusitasi dan vakum sudah ada dan terlihat sudah terpakai.


Dari data yang terpampang di papan informasi, cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan pada tahun 2008 mencapai 79 % dan pertolongan persalinan dengan komplikasi sejumlah 5 kasus dari total 54 kasus sedangkan kasus komplikasi neonatal 15 buah yang rata-rata adalah BBLR. Kasus pertolongan persalinan tahun 2008 merosot jauh dibanding tahun 2007 disebabkan pasokan air bersih yang menurun drastis. Kebiasaan masyarakat adalah mengantar dan menunggui ibu bersalin, jumlah mereka bisa 3-7 orang per keluarga, selama mereka menunggu membutuhkan air untuk keperluan sehari-hari mereka. Masalah air bersih ini terjadi karena sumber air untuk puskesmas berasal dari sumber air untuk masyarakat umum, dengan bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan mereka juga semakin besar.

Minimnya dana operasional puskesmas juga menjadi kendala bagi mereka untuk meningkatkan kinerja, puskesmas harus bertahan hanya dengan uang operasional sebesar 2 juta rupiah per tahun, sedangkan sumber keuangan lain seperti Jamkesmas untuk tahun 2008 belum cair dengan alasan belum ada dananya dari pusat, suatu hal yang perlu dikonfirmasi kebenarannya. Dengan kondisi keuangan ini, saya salut kepada kepala puskesmas yang tetap mampu merawat dan menjalankan pelayanan di puskesmas, beliau mampu menjaga kekompakan petugas dan menggali partisipasi warga yang terlihat melalui puskesmas yang cukup bersih dan hijau dengan banyak tanaman yang tumbuh di pekarangannya. Tampaknya dibawah kepemimpinan pak Yan, masyarakat merasa terlayani dengan baik meskipun dengan fasilitas yang terbatas. Petugas kesehatan juga mendapat perhatian atas kesejahteraannya, dari 4 rumah dinas yang tersedia, semua digunakan dan terawat, sebuah rumah digunakan oleh Dokter dan Dokter Gigi yang kebetulan sama-sama perempuan dan dipakai sebagai tempat praktek perorangan pada sore harinya; sebuah lagi untuk para perawat yang bujangan; sebuah untuk bidan koordinator; dan sebuah lagi untuk kepala puskesmas.

Terlepas dari kondisi puskesmas tersebut, pelayanan kesehatan di Kelimutu harus ditingkatkan. Sebagai salah satu obyek wisata kelas dunia, sarana kesehatan sangat minim disana, tidak ada rumah sakit atau pos kesehatan yang mudah dijangkau oleh para wisatawan. Yang ada hanya puskesmas yang letaknya jauh dari jalan raya dan sebuah pelayanan swasta yang sederhana. Satu-satunya dokter adalah dr. Diah yang bertugas di puskesmas Kelimutu. Tentu saja kondisi ini akan menyurutkan minat wisatawan manca negara untuk berkunjung, mereka sangat memperhatikan faktor keselamatan, masih segar diingatan kita betapa banyak negara yang mengeluarkan “travel warning” atau bahkan “travel band” kepada warganya untuk tidak pergi ke suatu negara yang dinilai tidak aman bagi keselamatan mereka. Seharusnya pemerintah daerah bersama dengan pusat bekerja sama agar obyek wisata ini dikelola secara terintegrasi mulai dari infrastruktur jalan, manajemen obyek wisata serta penggerakan ekonomi masyarakat lokal.

Peningkatan kualitas kesehatan masyarakat perlu diintegrasikan dengan pembangunan sektor-sektor lain, sehingga pembangunan berwawasan kesehatan bukan hanya sekedar pameo dan hanya dimiliki oleh sektor kesehatan. Melalui DTPS KIBBLA kita mencoba untuk mulai membahas peningkatan kesehatan ibu, bayi baru lahir dan balita secara terintegratif dengan semua sektor yang berperan didalamnya seperti dalam kasus Kelimutu misalnya, pembangunan KIBBLA akan diintegrasikan dengan pembangunan potensi wisata yang dimiliki, sehingga adalah tugas para peserta yang mengikuti lokakarya ini untuk meneruskan perjuangan menciptakan kondisi yang lebih baik kehidupan ibu, bayi baru lahir dan balita pada khususnya di kedua kabupaten ini sesuai dengan slogan yang tercantum dalam kaos mereka yaitu “ Warrior of Light”... (Imran Pambudi-Fasilitator Utama DTPS KIBBLA)