Keterbatasan dalam Kelimpahan dan Keindahan Alam
Catatan dari Lokakarya DTPS KIBBLA di Kaki Kelimutu
Mentari masih terbenam tatkala kami berkumpul untuk memulai perjalanan ke Taman Nasional Kelimutu dengan Danau Tiga Warna Kelimutu-nya yang tersohor di seluruh dunia karena keunikannya. Dari hotel tempat kami menginap hanya memerlukan waktu sekitar 30 menit perjalanan menggunakan kendaraan bermotor untuk sampai ke tempat parkir kendaraan terakhir dimana perjalanan selanjutnya harus dilakukan dengan berjalan kaki untuk sampai ke bibir danau. Dinginnya hawa pegunungan dan beragamnya kondisi tubuh karena usia dan kelelahan akibat kurang tidur tidak menyurutkan niat kami untuk pergi kesana. Sesampai di tempat parkir kami melakukan peregangan otot untuk mengurangi resiko cedera otot mengingat perjalanan yang cukup jauh dan mendaki serta para peserta yang umur dan kondisinya ada yang sudah lanjut.
Itulah sekelumit cerita perjalanan dalam rangka proses Lokakarya DTPS KIBBLA untuk kabupaten Ngada dan Ende yang dilakukan di Moni akhir Februari 2009. Lokakarya ini merupakan kelanjutan dari Orientasi KIBBLA yang dilakukan sekitar sebulan sebelumnya yang merupakan rangkaian kegiatan proyek Australia-Indonesia Partnership on Maternal and Neonatal Health (AIPMNH) di beberapa kabupaten dalam provinsi NTT. Didalam proses DTPS KIBLLA kali ini banyak sekali hal-hal menarik yang belum pernah saya temui di dalam proses DTPS di daerah lain selama ini dengan terampil dan semangat yang tinggi masing-masing tim bermain musik dan drama yang mencerminkan hasil diskusi tiap sesi. Kemampuan olah vokal dan adaptasi terhadap lagu-lagu rakyat serta lagu yang populer sangat hebat, sehingga tidak heran kalau tidak ada sesi malam keakraban pada lokakarya ini seperti ditempat lain, karena setiap hari selalu ada peserta yang menyumbangkan suara emasnya siang, sore terutama malam hari kala sesi malam dimulai....
Selama proses Lokakarya yang diikuti oleh masing-masing 14 orang dari tiap kabupaten dan dibantu oleh 1 orang Fasilitator Utama, 1 orang Fasilitator Nasional, 4 orang Fasilitator Provinsi dan 2 orang dari Penala Hati Nusantara kami membahas penyebab kematian ibu , bayi baru lahir dan balita dari data hasil cakupan tahun 2006, 2007 dan 2008 yang mereka bawa sebagai bahan penyusunan rencana kegiatan tahun 2010 dalam rangka penurunana jumlah kematian ibu, bayi baru lahir dan balita. Pada umumnya data pada tahun 2006 dan 2007 untuk 2 kabupaten susah untuk dianalisa, tren antar data tidak cocok dan alasan mengapa terjadi sulit ditemukan.
Meskipun pada pembukaan sudah ditekankan bahwa dalam Lokakarya DTPS KIBBLA ini membahas “Health Issue” tetapi peserta sering terjebak hanya membahas “Health Program” saja, sehingga para fasilitator sering mengingatkan masing masing kelompok untuk tidak terjebak dalam hal ini agar peserta yang berasal dari luar Dinas Kesehatan bisa berkontribusi melalui kegiatan di bidang mereka. Kondisi seperti ini tampak pada diskusi sesi penentuan Solusi dan Prioritas Kegiatan, meskipun pada sesi Penentuan Penyebab Masalah sudah diidentifikasi faktor-faktor yang ada bukan hanya non medis tetapi usulan kegiatannya sebagian besar masih medis juga. Tetapi terlepas dari hasil lokakarya yang “berat sebelah”, proses ini mampu membangun relasi dan kemampuan analisa mereka atas suatu masalah kesehatan ibu, bayi baru lahir dan balita menjadi suatu masalah multi sektoral. Kematian ditinjau bukan saja dari sisi medis itu sudah merupakan kemajuan yang luar biasa, program disusun atas dasar masalah bukan atas “historical budget” juga harus dianggap kemajuan yang berarti untuk dicapai dalam waktu 5 hari.
Catatan dari Lokakarya DTPS KIBBLA di Kaki Kelimutu
Mentari masih terbenam tatkala kami berkumpul untuk memulai perjalanan ke Taman Nasional Kelimutu dengan Danau Tiga Warna Kelimutu-nya yang tersohor di seluruh dunia karena keunikannya. Dari hotel tempat kami menginap hanya memerlukan waktu sekitar 30 menit perjalanan menggunakan kendaraan bermotor untuk sampai ke tempat parkir kendaraan terakhir dimana perjalanan selanjutnya harus dilakukan dengan berjalan kaki untuk sampai ke bibir danau. Dinginnya hawa pegunungan dan beragamnya kondisi tubuh karena usia dan kelelahan akibat kurang tidur tidak menyurutkan niat kami untuk pergi kesana. Sesampai di tempat parkir kami melakukan peregangan otot untuk mengurangi resiko cedera otot mengingat perjalanan yang cukup jauh dan mendaki serta para peserta yang umur dan kondisinya ada yang sudah lanjut.
Itulah sekelumit cerita perjalanan dalam rangka proses Lokakarya DTPS KIBBLA untuk kabupaten Ngada dan Ende yang dilakukan di Moni akhir Februari 2009. Lokakarya ini merupakan kelanjutan dari Orientasi KIBBLA yang dilakukan sekitar sebulan sebelumnya yang merupakan rangkaian kegiatan proyek Australia-Indonesia Partnership on Maternal and Neonatal Health (AIPMNH) di beberapa kabupaten dalam provinsi NTT. Didalam proses DTPS KIBLLA kali ini banyak sekali hal-hal menarik yang belum pernah saya temui di dalam proses DTPS di daerah lain selama ini dengan terampil dan semangat yang tinggi masing-masing tim bermain musik dan drama yang mencerminkan hasil diskusi tiap sesi. Kemampuan olah vokal dan adaptasi terhadap lagu-lagu rakyat serta lagu yang populer sangat hebat, sehingga tidak heran kalau tidak ada sesi malam keakraban pada lokakarya ini seperti ditempat lain, karena setiap hari selalu ada peserta yang menyumbangkan suara emasnya siang, sore terutama malam hari kala sesi malam dimulai....
Selama proses Lokakarya yang diikuti oleh masing-masing 14 orang dari tiap kabupaten dan dibantu oleh 1 orang Fasilitator Utama, 1 orang Fasilitator Nasional, 4 orang Fasilitator Provinsi dan 2 orang dari Penala Hati Nusantara kami membahas penyebab kematian ibu , bayi baru lahir dan balita dari data hasil cakupan tahun 2006, 2007 dan 2008 yang mereka bawa sebagai bahan penyusunan rencana kegiatan tahun 2010 dalam rangka penurunana jumlah kematian ibu, bayi baru lahir dan balita. Pada umumnya data pada tahun 2006 dan 2007 untuk 2 kabupaten susah untuk dianalisa, tren antar data tidak cocok dan alasan mengapa terjadi sulit ditemukan.
Meskipun pada pembukaan sudah ditekankan bahwa dalam Lokakarya DTPS KIBBLA ini membahas “Health Issue” tetapi peserta sering terjebak hanya membahas “Health Program” saja, sehingga para fasilitator sering mengingatkan masing masing kelompok untuk tidak terjebak dalam hal ini agar peserta yang berasal dari luar Dinas Kesehatan bisa berkontribusi melalui kegiatan di bidang mereka. Kondisi seperti ini tampak pada diskusi sesi penentuan Solusi dan Prioritas Kegiatan, meskipun pada sesi Penentuan Penyebab Masalah sudah diidentifikasi faktor-faktor yang ada bukan hanya non medis tetapi usulan kegiatannya sebagian besar masih medis juga. Tetapi terlepas dari hasil lokakarya yang “berat sebelah”, proses ini mampu membangun relasi dan kemampuan analisa mereka atas suatu masalah kesehatan ibu, bayi baru lahir dan balita menjadi suatu masalah multi sektoral. Kematian ditinjau bukan saja dari sisi medis itu sudah merupakan kemajuan yang luar biasa, program disusun atas dasar masalah bukan atas “historical budget” juga harus dianggap kemajuan yang berarti untuk dicapai dalam waktu 5 hari.
Disela-sela kegiatan Lokakarya, saya dan dr. Yuli, Kasubdin Kesmas Dinkes Prov. NTT yang juga seorang Fasilitator Nasional menyempatkan mengunjungi Puskesmas Kelimutu yang kebetulan juga adalah Puskesmas PONED, letaknya hanya sekitar 15 menit perjalanan dari hotel tempat kami menginap. Kesan pertama kali yang muncul di perjalanan adalah tempatnya tidak ada di tepi jalan besar seperti pada umumnya sarana kesehatan yang memudahkan akses bagi pengguna jasa kesehatan. Letak puskesmas ini sekitar 1,5 KM masuk dari jalan utama dan tidak ada papan nama lokasi Puskesmas, 500 meter terakhir perjalanan kami menemui jalan yang sangat jelek, bebatuan besar tampak menghiasi jalan satu-satunya ke Puskesmas Kelimutu, saya bisa bayangkan betapa bahayanya hal ini apabila musim penghujan dan bagi kendaraan yang membawa ibu hamil, bisa-bisa lahir di jalan atau kendaraannya bisa terpeleset...
Memasuki kompleks Puskesmas yang cukup besar dan bersih, kami disambut oleh dr. Diah yang baru bertugas 6 bulan di Puskesmas yang berstatus sangat terpencil ini. Beliau mendampingi Pak Yan, seorang perawat senior yang bertugas sebagai kepala puskemas untuk melakukan “tour” di puskesmas ini dimulai dari ruang administrasi. Ada suatu hal yang ironis kami temukan ketika membaca papan informasi kepegawaian, dari 22 pegawai yang bertugas di puskesmas ini, 6 diantarnya tenaga sukarela yang bekerja tanpa dibayar, mereka berharap bisa diangkat menjadi pegawai kelak, sementara ini mereka bekerja agar ilmu mereka tidak hilang, itu saja. Pemandangan yang menarik terlihat pada saat memasuki ruang bersalin, kondisinya walau bersih tetapi terasa lembab karena tempat cuci menjadi satu di ruang ini, kondisi pencahayaan serta ventilasi juga kurang memadai sehingga saya menyarankan agar memodifikasi atau memindahkan ruang ini, syukurlah sudah ada rencana pembangunan ruang bersalin di tanah kosong sebelah puskesmas meskipun belum tahu kapan akan dimulai.
Penempatan peralatan emergensi juga masih belum berada di suatu tempat yang mudah dijangkau, alat vakum misalnya. Alat ini disimpan di dalam lemari pada ruang lain, perlu sekitar 10 menit untuk mencari dan memasang alat ini. Kami menyarankan agar semua peralatan dan obat emergensi diletakkan pada suatu tempat yang mudah dijangkau oleh petugas kesehatan agar memudahkan memonitor dan menggunakannya. Sarana sudah cukup lengkap, meja gynec, lampu sorot, inkubator, alat resusitasi dan vakum sudah ada dan terlihat sudah terpakai.
Dari data yang terpampang di papan informasi, cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan pada tahun 2008 mencapai 79 % dan pertolongan persalinan dengan komplikasi sejumlah 5 kasus dari total 54 kasus sedangkan kasus komplikasi neonatal 15 buah yang rata-rata adalah BBLR. Kasus pertolongan persalinan tahun 2008 merosot jauh dibanding tahun 2007 disebabkan pasokan air bersih yang menurun drastis. Kebiasaan masyarakat adalah mengantar dan menunggui ibu bersalin, jumlah mereka bisa 3-7 orang per keluarga, selama mereka menunggu membutuhkan air untuk keperluan sehari-hari mereka. Masalah air bersih ini terjadi karena sumber air untuk puskesmas berasal dari sumber air untuk masyarakat umum, dengan bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan mereka juga semakin besar.
Minimnya dana operasional puskesmas juga menjadi kendala bagi mereka untuk meningkatkan kinerja, puskesmas harus bertahan hanya dengan uang operasional sebesar 2 juta rupiah per tahun, sedangkan sumber keuangan lain seperti Jamkesmas untuk tahun 2008 belum cair dengan alasan belum ada dananya dari pusat, suatu hal yang perlu dikonfirmasi kebenarannya. Dengan kondisi keuangan ini, saya salut kepada kepala puskesmas yang tetap mampu merawat dan menjalankan pelayanan di puskesmas, beliau mampu menjaga kekompakan petugas dan menggali partisipasi warga yang terlihat melalui puskesmas yang cukup bersih dan hijau dengan banyak tanaman yang tumbuh di pekarangannya. Tampaknya dibawah kepemimpinan pak Yan, masyarakat merasa terlayani dengan baik meskipun dengan fasilitas yang terbatas. Petugas kesehatan juga mendapat perhatian atas kesejahteraannya, dari 4 rumah dinas yang tersedia, semua digunakan dan terawat, sebuah rumah digunakan oleh Dokter dan Dokter Gigi yang kebetulan sama-sama perempuan dan dipakai sebagai tempat praktek perorangan pada sore harinya; sebuah lagi untuk para perawat yang bujangan; sebuah untuk bidan koordinator; dan sebuah lagi untuk kepala puskesmas.
Terlepas dari kondisi puskesmas tersebut, pelayanan kesehatan di Kelimutu harus ditingkatkan. Sebagai salah satu obyek wisata kelas dunia, sarana kesehatan sangat minim disana, tidak ada rumah sakit atau pos kesehatan yang mudah dijangkau oleh para wisatawan. Yang ada hanya puskesmas yang letaknya jauh dari jalan raya dan sebuah pelayanan swasta yang sederhana. Satu-satunya dokter adalah dr. Diah yang bertugas di puskesmas Kelimutu. Tentu saja kondisi ini akan menyurutkan minat wisatawan manca negara untuk berkunjung, mereka sangat memperhatikan faktor keselamatan, masih segar diingatan kita betapa banyak negara yang mengeluarkan “travel warning” atau bahkan “travel band” kepada warganya untuk tidak pergi ke suatu negara yang dinilai tidak aman bagi keselamatan mereka. Seharusnya pemerintah daerah bersama dengan pusat bekerja sama agar obyek wisata ini dikelola secara terintegrasi mulai dari infrastruktur jalan, manajemen obyek wisata serta penggerakan ekonomi masyarakat lokal.
Peningkatan kualitas kesehatan masyarakat perlu diintegrasikan dengan pembangunan sektor-sektor lain, sehingga pembangunan berwawasan kesehatan bukan hanya sekedar pameo dan hanya dimiliki oleh sektor kesehatan. Melalui DTPS KIBBLA kita mencoba untuk mulai membahas peningkatan kesehatan ibu, bayi baru lahir dan balita secara terintegratif dengan semua sektor yang berperan didalamnya seperti dalam kasus Kelimutu misalnya, pembangunan KIBBLA akan diintegrasikan dengan pembangunan potensi wisata yang dimiliki, sehingga adalah tugas para peserta yang mengikuti lokakarya ini untuk meneruskan perjuangan menciptakan kondisi yang lebih baik kehidupan ibu, bayi baru lahir dan balita pada khususnya di kedua kabupaten ini sesuai dengan slogan yang tercantum dalam kaos mereka yaitu “ Warrior of Light”... (Imran Pambudi-Fasilitator Utama DTPS KIBBLA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar